Malam itu, angin musim gugur berhembus lembut di sepanjang jalan kota. Lampu-lampu jalan yang berkilauan menari dengan gemerlapnya, menciptakan suasana yang tenang dan sepi. Di tengah kesunyian itu, seorang wanita muda berjalan tergesa-gesa menyusuri trotoar. Namanya Rina, seorang pekerja kantoran yang baru saja menyelesaikan tugasnya di kantor. Ia tidak terbiasa pulang larut malam, tetapi kali ini ada sesuatu yang tidak bisa ia tunda.
Rina memegang secarik kertas di tangannya, kertas yang entah mengapa terasa begitu berat. Sebuah undangan, dengan nama yang sudah sangat ia kenal, namun tak pernah benar-benar ia pahami. Di balik undangan itu ada kenangan, dan di balik kenangan itu ada luka yang tak pernah bisa ia sembuhkan sepenuhnya.
Pernikahan. Itu yang tertulis di undangan itu. Tapi bukan pernikahan yang diharapkan Rina. Ia mengenal pria itu sejak masa kuliah—Daniel, sahabat sekaligus seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya lebih dari sekadar seorang teman. Namun, seperti banyak cerita cinta yang tak pernah terungkap, hubungan mereka hanya tinggal kenangan. Daniel, dengan segala pesonanya, akhirnya memilih orang lain, dan Rina hanya bisa diam, menyimpan segala perasaan itu dalam hati.
Rina berhenti di depan sebuah kafe kecil, tempat yang biasa ia singgahi jika ingin melupakan hiruk-pikuk dunia. Kafe itu sudah sepi, hanya ada satu meja di sudut yang terisi oleh seorang pria yang sedang menulis di atas laptop. Pria itu terlihat begitu fokus, dan Rina tidak bisa menahan diri untuk menatapnya lebih lama. Ada sesuatu yang familiar dari sosok itu, meskipun Rina hampir tidak bisa mengingat kapan terakhir kali ia melihatnya.
Kemudian pria itu menoleh dan mata mereka bertemu. Rina terkejut, dan pria itu memberikan senyuman yang sedikit canggung.
"Rina?" pria itu bertanya, suara rendah dan penuh tanya.
Rina terdiam sejenak, mencoba mengenali siapa dia, tetapi hatinya berdebar-debar. Pria itu tidak tampak asing, tetapi juga tidak sepenuhnya dikenali. Akhirnya, ia mengangguk perlahan.
"Daniel?" Rina akhirnya menyebut nama itu, masih tidak percaya.
"Ya," jawabnya dengan senyuman yang kini lebih lebar. "Boleh aku duduk?"
Rina terdiam, bingung antara merasa senang atau cemas. Hanya beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam sebelum ia akhirnya mengangguk dan mengundang Daniel untuk duduk. Meskipun pertemuan ini tak terduga, ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak bisa menolak. Mungkin itu karena rindu yang telah lama terkubur, atau karena kenangan yang tidak mudah dihapus.
Daniel duduk di hadapannya, meletakkan laptopnya, dan memandang Rina dengan tatapan yang penuh arti. "Kamu masih ingat kafe ini?" tanyanya, mencoba mencairkan suasana yang sedikit tegang.
Rina mengangguk pelan, "Tentu. Kita sering ke sini dulu. Tapi, kenapa baru sekarang kita bertemu lagi?"
Daniel tersenyum tipis, matanya tampak menahan perasaan yang sulit diungkapkan. "Aku... aku merasa sangat bersalah. Atas banyak hal."
Rina menatapnya dengan tatapan penuh tanya, mencoba mengungkap maksud dari kata-kata itu. "Bersalah? Untuk apa?"
Daniel menarik napas panjang. "Aku meninggalkanmu tanpa penjelasan, Rina. Aku tahu itu sangat menyakitkan bagimu. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya, bagaimana cara mengatakan bahwa aku... bahwa aku tidak bisa mencintaimu seperti yang kamu inginkan."
Rina terdiam, hatinya seperti terbelah menjadi dua. Di satu sisi, ia merasa lega mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Daniel. Namun, di sisi lain, ada rasa sakit yang kembali muncul, mengingat betapa ia pernah berharap hal ini akan terjadi, berharap mereka bisa bersama.
"Aku tidak tahu harus berkata apa," jawab Rina pelan, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. "Kenapa sekarang? Kenapa baru sekarang kamu datang dan mengatakan ini?"
Daniel menunduk, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Karena aku baru menyadari bahwa aku telah salah. Aku sudah memilih jalan yang salah, Rina. Dan aku tahu, meskipun aku datang sekarang, semuanya sudah terlambat."
Rina terdiam, merasakan ada sesuatu yang bergemuruh di dalam hatinya. Ia menatap Daniel, mencoba mencari tahu apakah ini hanya kata-kata belaka atau ada sesuatu yang lebih dalam dari itu. Namun, sebelum ia sempat berbicara, Daniel melanjutkan.
"Aku datang untuk memberitahumu bahwa... aku akan menikah."
Kata-kata itu, meskipun sudah ia duga, tetap terasa seperti sebuah tamparan yang menghantam jantungnya. Pernikahan. Kata yang selama ini mengingatkannya pada semua impian yang ia genggam dengan Daniel. Namun, kenyataannya, impian itu hanya tinggal impian belaka.
Rina tersenyum, meskipun senyuman itu terasa pahit. "Selamat," katanya pelan, mencoba menahan perasaan yang hampir pecah. "Aku... aku hanya ingin kamu bahagia, Daniel."
Daniel memandangnya dengan tatapan penuh penyesalan. "Rina, aku tidak ingin kamu merasa terluka. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku sangat menghargai kita dulu. Waktu yang kita habiskan bersama adalah kenangan yang akan selalu aku simpan."
Rina menatap Daniel untuk terakhir kalinya, mencoba menenangkan hatinya yang terus bergejolak. "Aku tahu," jawabnya, "Aku juga menghargainya. Tapi mungkin sudah waktunya kita berpisah, Daniel. Kita harus menerima kenyataan, bahwa kita tidak bisa kembali ke masa lalu."
Daniel terdiam, lalu mengangguk pelan. "Aku tahu, Rina. Aku tahu."
Malam itu, mereka duduk berdua dalam hening. Tak ada kata-kata yang bisa mengubah kenyataan, tak ada hal yang bisa mengembalikan waktu. Rina merasa sebuah babak dalam hidupnya telah selesai, dan meskipun hatinya terluka, ia tahu bahwa ia harus melangkah maju.
Dengan perlahan, mereka berpisah, dan Rina meninggalkan kafe itu dengan perasaan yang campur aduk. Namun, meskipun hatinya masih terasa perih, ada sedikit rasa lega yang mulai tumbuh. Mungkin, pada akhirnya, pertemuan itu adalah jalan untuk menyembuhkan luka lama. Ia tahu, ia akan baik-baik saja.