Dibuang Bukan karena Bodoh, Tapi karena Terlalu Tahan Banting

Sebut saja nama saya Guntur Rahmat Saputra. Tapi di kantor saya, saya lebih sering dipanggil "si yang belum tumbang".



Saya tahu, tidak semua orang bisa tahan bekerja belasan tahun di perusahaan yang tiap rapatnya bikin kolesterol naik. Tapi saya tahan. Tidak semua orang bisa sabar saat kena revisi lima kali padahal sudah sesuai SOP. Tapi saya sabar. Bahkan waktu saya jadi satu-satunya yang nggak mangkir pas kerjaan lagi numpuk dan atasan pergi kondangan ke luar kota, saya tetap diam.

Lalu saya sadar, mungkin itulah kesalahan saya.

Saya terlalu kuat. Terlalu tahan banting. Terlalu betah. Dan di perusahaan ini, mereka tidak suka yang terlalu.

Awalnya semua biasa saja. Saya datang pagi, pulang nyaris malam, seperti karyawan shalih pada umumnya. Saya nggak neko-neko. Gaji telat saya maklumi, THR receh saya terima, dan drama antar divisi saya anggap sinetron bonus.

Tapi tiba-tiba saya dipanggil ke ruang HR.

"Mas Guntur, mulai minggu depan Anda dipindah ke bagian Operasional Teknis Kreatif Inovatif."

Saya kaget. Bukan karena panjangnya nama divisi itu, tapi karena... divisi itu tidak pernah ada sebelumnya. Saya sampai ngecek ulang struktur organisasi di papan pengumuman yang biasanya dipakai buat nitip brosur kos-kosan.

“Divisi apa, Mbak?”

“Oh itu bagian baru. Mas nanti tangani hal-hal kreatif dan inovatif secara teknis dan operasional.”

Kalau kamu bingung dengan penjelasan itu, tenang. Saya juga. Bahkan HR-nya sendiri tampak seperti membaca dari skrip FTV.

Mulai hari Senin, saya resmi bekerja di ruangan kosong. Literally kosong. Tidak ada laptop. Tidak ada dokumen. Tidak ada meja. Hanya kursi lipat dan colokan yang tidak nyala. Satu-satunya makhluk hidup di sana hanyalah seekor kecoak yang tampaknya lebih paham posisi saya daripada saya sendiri.

Setiap hari saya duduk dan menatap tembok, berharap ada wahyu kreatif dan inovatif turun dari langit.

Saya coba tanya ke bagian IT, mereka bingung. Tanya ke manajer lama, dia cuma jawab, “Kamu sekarang bukan bagian saya, ya. Semangat!”

Wahai semangat, kalau kamu bisa dijadikan lauk, mungkin saya bisa makan siang hari itu.

Saya tahu ini bukan sekadar mutasi biasa. Ini namanya pengasingan dengan dalih inovasi. Mereka ingin saya resign. Mereka ingin saya menyerah. Karena kalau saya mengundurkan diri, mereka tidak perlu membayar pesangon. Praktis dan hemat, seperti promo paket data.

Dan ini bukan dugaan. Ini pola. Beberapa teman saya pernah mengalami hal serupa. Ada yang dipindah ke posisi yang butuh keahlian programming padahal jurusan Bahasa Jepang. Ada yang disuruh urus logistik padahal sebelumnya bagian desain interior. Semua perlahan mengundurkan diri. Dengan senyum getir dan akun LinkedIn yang aktif kembali.

Saya tidak tahu sejak kapan perusahaan ini berubah dari tempat bekerja menjadi tempat pelatihan kesabaran tingkat dewa.

Tentu saya bisa marah. Tapi saya sudah lewat fase itu. Sekarang saya menikmati absurditas ini. Saya kasih nama kecoak di ruangan saya, sebut saja si Joni. Kami ngobrol setiap siang. Dia lebih suportif daripada atasan saya.

Saya juga mulai menulis jurnal harian: “Hari ke-17 di pulau terasing: manajer masih tidak peduli, HR mulai menghindar, dan saya makin dekat dengan Joni.”

Saya bahkan kepikiran buat bikin podcast: Disingkirkan Tapi Masih Gajian. Segmen pertama: cara bertahan hidup di ruangan tanpa tugas.

Lucunya, tiap ada evaluasi tahunan, nama saya tetap ada. Tetap dicatat hadir. Tetap dikasih nilai "cukup memuaskan" walau pekerjaan saya hanya mengusir nyamuk dan pura-pura sibuk di depan kaca jendela.

Saya mulai mengerti. Dalam dunia kerja modern, tidak semua pembuangan itu frontal. Kadang mereka tidak menendangmu keluar. Mereka hanya membuka pintu dan berharap kamu merasa bosan sendiri.

Kalau kamu juga mengalami ini dibuang secara elegan, dijadikan patung di pojokan kantor, ketahuilah: kamu tidak sendirian. Banyak Guntur-Guntur lain di luar sana yang sedang berbicara dengan kecoak bernama Joni.

Tetap kuat. Kalau kamu menyerah, mereka menang.

Dan buat para manajer atau HRD yang mungkin membaca ini: suatu hari nanti, mungkin giliran kalian. Karena sistem yang tidak manusiawi, cepat atau lambat, akan makan siapa pun yang terlalu bergantung padanya.

Salam dari sudut ruangan yang tidak terpakai.

Guntur R. Saputra, S.H. (Sarjana Harapan yang pupus pelan-pelan)
Lebih baru Lebih lama